Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan Blambangan, yaitu di sebelah selatan Banyuwangi atau yang lebih dikenal dengan Alas Purwo. Raja terakhir yang menduduki singgasana adalah Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir era Majapahit. Blambangan dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Kemudian Muncullah Kerajaan Blambangan (Kalau boleh disebut "Blambangan II), dimana kerajaan Blambangan II ini sudah bernafaskan Islam dengan Pusat Pemerintahan di Blambangan,Muncar, yang kemudian melahirkan Seorang Ulama Dengan Nama Sunan Giri
Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan Kesultanan Mataram terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan.
Beberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan kerajaan blambangan adalah Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng kerajaan Blambangan sepanjang lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari masjid pasar muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo. Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan Setinggil yang artinya Siti adalah tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi.Objek Siti Hinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan). Siti Hinggil ini merupakan pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa kerajaan Blambangan, berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu tebing yang mempunyai "keistimewaan" untuk mengawasi keadaan di sekitar teluk pang Pang dan Semenanjung Blambangan. Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang kini tersimpan di museum daerah berupa Guci dan asesoris gelang lengan, sedangkan kolam dan Sumur kuno yang di temukan masih berada di sekitar Pura Agung Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Bukti lain sejarah kerajaan blambangan di desa Blambangan ini riwayat kerajaan Blambangan tetap misterius. Situs dan petilasan Blambangan banyak ditemukan di Kecamatan Muncar. Yang masih terlihat jelas bentuknya adalah situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Muncar.Di sekitar Umpak Songo banyak ditemukan saksi sejarah kebesaran Blambangan. Ada gumuk sepur, bukit yang memanjang. Konon ini adalah benteng raksasa kerajaan Blambangan. Akibat kurangnya pemahaman masyarakat, gumuk sepur dihancurkan dan lokasinya dijadikan lahan pertanian. Situs Ompak Songo memiliki makna tersendiri bagi dua umat beragama di Banyuwungi. Yakni, umat Islam dan Hindu. Hal itu disebabkan perjalanan sejarah Kerajaan Blambangan tak lepas dari dua pengaruh Agama tersebut.
Umpak Songo adalah tumpukan batu berlubang mirip penyangga tiang bangunan yang berjumlah sembilan. Umpak artinya tangga, songo berarti sembilan. Situs ini ditemukan pertama kali tahun 1916 oleh Mbah Nadi Gede, warga dari Bantul, Yogyakarta. Pertama ditemukan kondisinya sudah tertimbun tanah dan hutan belantara. Begitu digali, ternyata mirip sebuah candi. Diyakini, Umpak Songo dahulunya adalah balai pertemuan bagi raja Blambangan bersama bawahannya.
Tahun 1938, seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, mengunjungi tempat itu. Kemudian, tempat ini diberi nama Umpak Songo. Mangku Bumi sempat mengisahkan lokasi itu adalah bekas peninggalan kerajaan Blambangan dengan rajanya Minak Jinggo. Tak jauh dari Umpak Songo, ada Umpak Lima. Konon, tempat ini adalah ruangan semadi raja-raja Blambangan. Bangunan ini kini sudah musnah. Warga meratakannya dengan tanah, lalu dibangun sebuah mushola. Warga yang bertempat tinggal di sekitar situs Umpak Songo adalah keluarga besar.
Partaningrat Arifin, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995